Mereka yang mencoba mengekspresikan hak fundamental dan konstitusionalnya tetapi oleh aparat penyidik dan penuntut umum dianggap sebagai sebuah kejahatan. Deretan kasus ini menjadi sebuah paradoks sekaligus ujian bagi bangsa ini yang mendaku sebagai negara demokrasi. Fenomena ini pula semakin menegaskan bahwa demokrasi tidak selamanya berjalan linear jika berhadapan dengan hukum khususnya politik hukum.
Hak Fudamental dan Konstiutsional
Kebebasan berpendapat atau kemerdekaan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yakni hak untuk berpendapat atau berekspresi. Jika dilitilik dari generasi hak asasi menusia merupakan kategori hak fundamental. Sebuah hak yang terdapat pada generasi pertama dalam sejarah dan perkembangan hak asasi manusia, yakni hak tergolong dalam hak sipil dan politik (politic and civil right). Dikatakan fundamental karena jauh sebelum rakyat melahirkan sebuah organisasi negara, rakyat sudah diberikan hak dan kebebasan yang paling asasi ini.
Dalam teori klasik tentang asal mula negara dari seorang ahli filsafat dan penganut teori perjanjian masyarakat (social contrac) yakni John Locke dalam bukunya “Two Treaties Of Civil Government “ yang menjelaskan tentang proses lahir negara dalam bentuk penjanjian masyarakat. Dalam pendangan Locke, ketika perjanjian antara warga dengan penguasa, individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah (fundamental) mereka karena hak alamiah yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dipisahkan atau dilepaskan dari individu tersebut. Untuk itu penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak-hak asasi tersebut. Dimata Locke, disinilah fungsi dari perjanjian masyarakat yakni untuk membatasi kekuasan yang mutlak dan untuk menjamin hak-hak kodrat itu. Salah satu diantara hak kodrat atau fundamental dimaksud tersebut adalah hak untuk berpendapat.
Filosofi diatas kemudian mendasari negara-negara demokratis yang tidak boleh membatasi apalagi melarang setiap orang untuk berpendapat. Negara lewat pemerintah sebagai pemegang mandat rakyat dan aparatur negara justeru seharusnya memberikan penghormatan dan penghargaan bagi mereksa yang melaksanakan hak asasinya.
Hal ini pula yang mempengaruhi konsep negara hukum materiil/modern atau yang lebih pupoler dengan istilah Negara Kesejahteraan (walfare state) sebagai thesa negara polis dan antithesa negara hukum formil. Sebuah negara yang becirikan prinsip supremasi hukum, persamaan dimuka hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Menurut konsep negara kesejahteraan, sifat hubungan rakyat adalah positif-aktif dimana negara aktif menyelanggarakan kesejahteraan/kemakmuran rakyat sementara rakyat aktif berpartisipasi dalam pemerintahan (A. Mukhtie Fadjar, 2005).
Seperti umumnya hak lainnya, hak berpendapat dalam pengertian hak asasi manusia selalu mengandung dua aspek yakni keberhakan (entitlement) dan kebebasan (freedom). Apa yang kita sebut hak sama artinya dengan apa yang kita namakan kebebasan. Misalnya hak atas pendidikan, hak dasar ini tidak bisa maksimal perwujudannya jika tidak ada jaminan kebebasan berpendapat. Termasuk dalam hal ini institusi pers hanya bisa maksimal dalam menjalankan fungsi kontrolnya jika ada kebebasan berpendapat dan berkespresi.
Sebagai rumpun hak sipil dan politik, hak berpendapat bersifat negatif, yakni pelaksanaannya semakin baik jika kurang intervensi negara. Hal ini didasarkan pada aspek kebebasan dalam hak yakni bebas untuk (freedom in it self) yang tidak bisa dibatasi dan bersifat imperatif. Namun di sisi lain pada prinsipnya hak bependapat termasuk hak yang bisa ditangguhkan sementara pelaksanannya dalam keadaan tertentu seperti dalam keadaan perang. Pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan kepentingan orang–orang lain atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Komentar Umum 10 (4) Internasional Convenant Civil and Politic Rights (ICCPR) menegaskan bahwa penerapan pembatasan kebebasan kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan esensi hak itu sendiri.
Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, hak berpendapat ini dijaminkan dalam klausul konstitusi. Jaminan tersebut diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menegaskan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Sebagai sebuah nilai sosial, acuan normatif konstitusional dan ideal ini masih harus diwujudkan secara empiris. Dimana prosesnya diharapkan bersifat konsisten, sehingga nilai sosial dari kebebasan masyarakat dapat terwujud. Wujud empiris tersebut sangat ditentukan beberapa hal antara lain kondisi dan prasyarat yang diberikan oleh kekuasaan (pemerintah) kepada masyarakat dalam bentuk orientasi dan subyetifitas penguasa.
Perwujudan hak konstiusional bisa terjamin jika orientasi penyelanggaraan negara/birokrasi selaras dengan kecenderungan individu warga negara. Sebaliknya perwujudan yang tidak selaras tetapi hanya bertolak dari kecenderungan individual dari penyelenggara negara/birokrasi yang masuk pada ranah personal (personal domain) pejabat negara, yang bisa terwujud atas itikad dari pejabat negara. Kasus Upi Asamaradana atau Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar (KJTKPM) bisa menjadi contoh bagaimana ranah personal lebih mendominasi aparat negara dalam membungkam hak berpendapat warganya. Bahkan walam wujud yang lebih jauh telah mengarah pada penyalahgunaan kewenangan dengan melakukan kriminalisasi terhadap KJTKPM khususnya Upi Asamaradana.
Kebebasan Berpendapat vs Defamasi
Tidak selamanya hak berpendapat sebagai hak fundamental dan konstitusional ini tercipta sesuai kondisi dan prasyarat kekuasaan negara tidak terkcuali kasus Upi Asamaradana yang tergabung dalam KJTKPM. Logika filosofi dan hak asasi manusia yang ideal diatas tidak selamanya sebangun dengan logika praksis penguasa lewat para penyidik dan prosecutornya.
Beberapa warga negara yang mencoba mengekpresikan hak berpendapatnya tetapi kemudian dikriminalisasi dengan menggunakan delik-delik pencemaran nama baik atau defamasi (defamation). Sejarah delik defamasi dalam pasal-pasal Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda pada awalnya digunakan sebagai instrument untuk mengukuhkan kekuasaan otoritarian dengan hukuman yang sangat kejam saat itu. Demikian juga halnya di Indonesia yang nota bene bekas jajahan Belanda yang serta merta mengadopsi WvS kedalam KUHP oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru dijadikan media yang ampuh untuk melakukan pembungkaman terhadap warga yang melakukan kritik dan protes.
Masih berlaku positipnya delik-delik defamasi tersebut diperparah oleh politik hukum pidana yang menempatkan hukum pidana sebagai subordinasi dari politik kekuasaan yang refresif. Akibatnya delik defamasi oleh aparat penguasa dan pihak-pihak tertentu masih dijadikan senjata ampuh untuk menegasikan atau mereduksi kebebasan berpendapat. Sebuah gambaran dari jenis hukum yang oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick disebut sebagai hukum represif. Jenis hukum yang memiliki karakter antara lain; hukum diidentikkan sama dengan negara, melanggengkan sebuh otoritas, lembaga control yang terspesialisasi (polisi), rezim hukum berganda melembangakan keadilan berdasarkan kelas, hukum pidana merefleksikan nilai-nilai dominan (Philippe Nonet dan Philip Selznick: 2007)
Untuk itu dalam kaitannya delik defamasi dengan kebebasan berpendapat seharusnya diletakkan dalam kerangka pertanggungjawaban pidana dan beberapa alasan pembenar atau pemaaf. Sebuah tindakan yang didasari atas nilai sosial dan diatur dalam ketentuan perundang-undangan sebagai Mens Rea atau guilty of mind harusnya dianggap sebagai perbuatan yang patut dan tidak tercelah bukan sebaliknya yakni perbuatan melawan hukum. Demikian juga halnya dengan perbuatan tersebut tidak bisa dihukum jika apa yang dilakukan untuk membela kepentingan umum atau bermanfaat besar bagi masyarakat (social adequat) yang sesuai dengan kebutuhan zaman, terpaksa untuk membela diri serta untuk mengungkapkan kebenaran.
Selain itu pertimbangan hukum sebuah delik defamasi yang terkait dengan kebebasan berpendapat tetap memperhatikan ukuran penghinaan dari sudut subyektif yang diobjektivisir dan tidak melulu didasari sudut pandangan subyektif. Dengan ukuran perasaan subyektif yang diobjektivisir tersebut akan menjamin ditegakkannya kepentingan hukum yang hendak dilindungi dalam delik-delik penghinaan tanpa merusak asas-asas hukum lainnya. Sebaliknya, jika hanya menggunakan ukuran subyektif saja, delik-delik penghinaan akan menjadi penghambat hubungan antar sesama dalam pergaulan dalam masyarakat.
Karena setiap orang memiliki perasaan dan personalitas yang berbeda-beda, maka perasaan yang subyektif tersebut perlu diobyektifikasi, yakni apakah perbuatan tersebut menurut ukuran umum pada waktu dan tempat/lingkungan di mana perbuatan dilakukan termasuk perbuatan penghinaan atau tidak. Apalagi hukum pidana belum jelas mengatur tentang kapan seseorang dapat dikatakan terserang kehormatan atau nama baiknya.
Untuk itu dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional dalam upaya menegakkan hak dasar dan melindungi hak atas reputasi, negara diwajibkan untuk menciptakan dua instrumen hukum yaitu hukum pidana dan juga hukum perdata. Bahkan di beberapa negara, pidana penjara atas tindak pidana pencemaran nama baik sudah dihapus. Selanjutnya penyelesaiannya lebih pada mekanisme perdata, dimana orang yang mengklaim nama baiknya tercemar yang harus membuktikan kebenarannya. Penggunaan instrumen hukum pidana dikhawatirkan dapat membatasi esensi hak atau kebebasan berpendapat itu sendiri. Dimana salah satu esensi dari Kebebasan Berpendapat itu adalah penghargaan dan egaliterianisme.